BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Minggu, 31 Mei 2009

Pengajaran Dalam Bentuk Belajar Berdebat


Pengajaran yang berpusat pada siswa (student centered) sering diidentikkan dengan proses debat (advocacy learning). Advocacy learning dipandang sebagai suatu pendekatan alternatif terhadap pengajaran di dalam kelas yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajari isu-isu sosial dan personal yang berarti melalui keterlibatan langsung dan partisipasi pribadi. Model belajar ini menuntut para siswa berfokus pada topik yang telah ditentukan sebelumnya dan mengajukan pendapat yang berkaitan dengan topik tersebut. Belajar advokasi menuntut siswa menjadi advokat dari pendapat tertentu yang berkaitan dengan topik yang tersedia. Para siswa menggunakan keterampilan riset, keterampilan analisis, dan keterampilan berbicara dan mendengar, sebagaimana mereka berpartisipasi dalam kelas pengalaman advokasi, mereka dihadapkan pada isu-isu kontroversial dan harus mengembangkan suatu kasus untuk mendukung pendapat mereka di dalam perangkat petunjuk dan tujuan-tujuan khusus.

Dalam rangka belajar advokasi, para siswa berpartisipasi dalam suatu debat antara dua regu, yang masing-masing terdiri dari beberapa siswa. Tiap regu memperdebatkan topik yang berbeda dari para anggota kelas yang lainnya. Sebaiknya, topik yang diperdebatkan adalah isu-isu yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa sesuai dengan materi yang disampaikan pada saat itu. Belajar dengan metode advokasi ini dapat digunakan baik belajar di sekolah dasar maupun belajar di sekolah lanjutan. Berdasarkan tingkatan siswa, model ini dapat diperluas atau disederhanakan pelaksanaannya. Pendekatan instruksional belajar advokasi mengembangkan ketrampilan-ketrampilan dalam logika, pemecahan masalah, berpikir kritis, serta komunikasi lisan dan tulisan. Selain itu, model ini akan mengembangkan aspek afektif, seperti konsep diri, rasa kemandirian, turut memperkaya sumber-sumber komunikasi antarpribadi secara efektif, meningkatkan rasa percaya diri untuk mengemukakan pendapat, serta melakukan analisis secara kritis terhadap bahasan dan gagasan yang muncul dalam debat. (Sumber: Hamalik, Oemar. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara.)

Jumat, 29 Mei 2009

Ice Breaking untuk Meningkatkan Semangat Belajar


Ada kalanya murid merasa jenuh dengan aktifitas kelas yang monoton. Sering kali jika suasana kelas sudah menjadi “kaku”, anak-anak akan menjadi sulit berkonsentrasi pada materi yang diberikan karena merasa jenuh dengan suasana kelasnya. Tidak ada salahnya bila guru memberikan selingan ditengah-tengah berjalannya proses belajar-mengajar, atau yang kita kenal dengan istilah ice breaking. Ice breaking adalah suatu kegiatan peralihan situasi dari kondisi yang membosankan, mengantuk, menjenuhkan, dan tegang menjadi suasana yang rileks, bersemangat, tidak membuat ngantuk, serta dapat mengembalikan konsentrasi dan perhatian yang tadinya sudah mulai menurun atau hampir hilang. Beberapa contoh ice breaking misalnya tebak-tebakan nama tokoh, tebak-tebakan tanggal-tanggal bersejarah, games cepat-tepat menjawab, atau bisa juga kegiatan-kegiatan yang tidak berhubungan dengan materi yang disampaikan seperti tebak lagu atau beberapa permainan yang membuat murid bersemangat kembali (misalnya permainan “sedang apa”). Kegiatan ice breaking ini dapat dilakukan 5-10 menit, jangan diberikan terlalu lama karena nantinya malah akan membuat murid menjadi malas atau enggan menerima pelajaran kembali. Dalam ice breaking ini, guru juga boleh memberikan reward agar meningkatkan semangat belajar murid.

Karena itu, kemampuan pedagogi guru sangatlah memegang peranan penting dalam menciptakan suasana kelas yang aktif. Jika para murid sudah mulai jenuh dengan materi pelajaran yang disampaikan, buatlah suatu kondisi yang dapat membangkitkan kembali semangat belajarnya.


Student Centered, Good or Bad?



  • Kelebihan: Dengan metode pembelajaran student centered, murid dituntut untuk menjadi lebih kreatif, mandiri, aktif, dan percaya diri, juga dapat meningkatkan pemahaman yang mendalam dari materi yang disampaikan oleh pengajar. Proses pengajaran juga menjadi innovatif, interaktif, dan suasana lebih fleksibel.
  • Kekurangan: Stressful untuk siswa yang kurang aktif. Guru yang tidak dapat memimpin diskusi dan tidak dapat membimbing muridnya dengan baik hanya akan membuat suasana kelas menjadi “mati”.

Strategi Pengajaran

Beberapa strategi pengajaran yang dipakai pada proses pembelajaran dengan Student Centered Approach adalah:

Problem based learning
Menggunakan kejadian sehari-hari, permasalahan yang mungkin muncul di sekitar murid.

Essential question
Pertanyaan yang merefleksikan keseluruhan topik. Eksplorasi dari pertanyaan ini membuat murid berfikir dan meningkatkan rasa ingin tahunya.

Discovery learning
Proses belajar dimana murid membangun pengetahuannya/ membangun understanding secara mandiri dengan caranya sendiri.

Metode Pengajaran Berbasis Student Centered Approach


Proses pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) adalah proses pembelajaran yang fokus pada murid. Dengan metode ini diharapkan dapat mendorong siswa untuk terlibat secara aktif dalam membangun pengetahuan, sikap dan perilaku. Dan pada metode ini, guru berperan sebagai pembimbing.
Dalam proses pembelajaran student centered, siswa akan memperoleh kesempatan untuk memfasilitasi dan untuk membangun sendiri pengetahuannya sehingga mereka akan memperoleh pemahaman yang mendalam (deep learning), dan pada akhirnya dapat meningkatkan mutu kualitas siswa tersebut.
Tantangan bagi guru sebagai pendamping pembelajaran siswa, untuk dapat menerapkan pembelajaran yang berpusat pada siswa perlu memahami tentang konsep, pola pikir, dan strategi pembelajaran yang akan digunakan. Untuk menunjang kompetensi guru dalam proses pembelajaran berbasis student centered, maka diperlukan peningkatan pengetahuan, pemahaman, keahlian, dan ketrampilan guru sebagai fasilitator dalam metode ini (kemampuan pedagogi guru memegang peranan penting).

Peran guru dalam pembelajaran berbasis student centered ini bergeser yang semula menjadi pengajar (teacher) berubah menjadi fasilitator. Fasilitator adalah orang yang memberikan fasilitasi. Dalam hal ini adalah memfasilitasi proses pembelajaran siswa. Guru menjadi mitra pembelajaran yang berfungsi sebagai pendamping (guide on the side) bagi siswa.

Bekal bagi para guru untuk dapat menjalankan perannya sebagai fasilitator salah satunya adalah memahami prinsip pembelajaran yang berpusat pada siswa. Ada lima faktor yang penting diperhatikan dalam prinsip psikologis pembelajaran berpusat pada siswa, yaitu:

  1. Faktor Kognitif yang menggambarkan bagaimana siswa berpikir dan mengingat, serta penggambaran faktor-faktor yang terlibat dalam proses pembentukan makna informasi dan pengalaman;
  2. Faktor Afektif yang menggambarakan bagaimana keyakinan, emosi, dan motivasi mempengaruhi cara seseorang menerima situasi pembelajaran, seberapa banyak orang belajar, dan usaha yang mereka lakukan untuk mengikuti pembelajaran. Kondisi emosi seseorang, keyakinannya tentang kompetensi pribadinya, harapannya terhadap kesuksesan, minat pribadi, dan tujuan belajar, semua itu mempengaruhi bagaimana motivasi siswa untuk belajar;
  3. Faktor Perkembangan yang menggambarkan bahwa kondisi fisik, intelektual, emosional, dan sosial dipengaruhi oleh factor genetik yang unik dan faktor lingkungan;
  4. Faktor Sosial yang menggambarkan bagaimana orang lain berperan dalam proses pembelajaran dan cara-cara orang belajar dalam kelompok. Prinsip ini mencerminkan bahwa dalam interaksi sosial, orang akan saling belajar dan dapat saling menolong melalui saling berbagi perspektif individual;
  5. Faktor Perbedaan yang menggambarkan bagaimana latar belakang individu yang unik dan kapasitas masing-masing berpengaruh dalam pembelajaran. Prinsip ini membantu menjelaskan mengapa individu mempelajari sesuatu yang berbeda, waktu yang berbeda, dan dengan cara-cara yang berbeda pula.